Bulan lalu, saya dan beberapa kawan investor saham di Surabaya mengadakan aktivitas lari pagi. Investor kan sesekali juga butuh olahraga biar badan sehat seperti portofolionya, tapi lari paginya dari jam 5.30 – 7.30 pagi, nongkrongnya sampai jam 12.00 siang. You know ngobrol saham kadang bisa lupa waktu. Hahaha…


Dari kiri-kanan: Denny, Yoszy, Saya, Austein, Mochtar, Johan. @Sweetlybee Surabaya


Singkat cerita, anggota dari grup lari pagi kami ini gemar nongkrong di kopitiam atau kafe lalu kemudian berbincang-bincang terutama tentang investasi saham. Saya ingat ada satu topik diskusi yang menarik dari kawan saya yang bernama Yoszy mengenai strategi investasi saham menggunakan Sector Rotationdigabung dengan “Modern Portfolio Theory.” Intinya apakah strategi tersebut dapat membuat kita mengungguli kinerja indeks atau pasar saham secara keseluruhan dalam jangka panjang? Artikel kali ini saya ingin sharing pandangan saya terkait hal itu.


Sebelum memberikan pendapat ada baiknya saya jelaskan dulu apa yang dimaksud dengan “Sector Rotation” & “Modern Portfolio Theory”?

 

SECTOR ROTATION

Sector rotation adalah strategi investasi saham yang mengelola portofolio secara aktif dengan cara memindahkan dana dari satu sektor industri ke sektor lainnya berdasarkan prediksi kinerja sektor-sektor tersebut dalam berbagai fase siklus ekonomi atau pasar dengan tujuan untuk mengoptimalkan return dengan berinvetasi di sektor-sektor yang diperkirakan akan unggul dalam kondisi tertentu.


Contohnya:

  1. Saat kondisi ekonomi mulai pulih dari resesi, sektor yang diunggulkan adalah otomotif, properti dan keuangan alasannya ketika ekonomi pulih, suku bunga cenderung rendah, sehingga memacu kinerja sektor tersebut dan meningkatkan permintaan kredit.
  2. Saat ekonomi berada di puncak ekspansi, sektor yang diunggulkan adalah sektor energi dan bahan baku. Alasannya dalam fase ini, permintaan terhadap energi dan bahan baku meningkat karena aktivitas ekonomi yang tinggi.
  3. Saat ekonomi mulai melambat, sektor yang diunggulkan adalah sektor consumer goods dan kesehatan. Alasannya, dalam masa perlambatan ekonomi, konsumen tetap membeli barang kebutuhan sehari-hari dan layanan kesehatan, menjadikan sektor ini lebih defensif.
  4. Saat ekonomi mengalami resesi, sektor yang diunggulkan adalah sektor utilitas dan telekomunikasi, alasannya layanan dasar seperti listrik, air, dan komunikasi tetap diperlukan meskipun kondisi ekonomi memburuk.


Ilustrasinya, seorang investor mulai dengan berinvestasi di sektor otomotif saat ekonomi baru pulih, setelah sektor ini dirasa mencapai puncaknya, ia menjual sahamnya di sektor otomotif dan memindahkan investasinya ke sektor energi karena aktivitas ekonomi meningkat. Ketika sudah terlihat tanda-tanda perlambatan ekonomi muncul, investor tersebut mengalihkan lagi dananya ke sektor barang konsumsi pokok, dan seterusnya… Sehingga investor tersebut mencoba “berputar” sesuai siklus ekonomi dengan harapan dapat selalu mengikuti momentum sektor yang sedang “diuntungkan” dengan kondisi ekonomi saat itu.

 


Simple-nya, investor penganut sector rotation ini cukup mencari tahu kapan sektor minyak akan mengungguli sektor ritel, dst, dst… Berpindah-pindahlah terus di sektor yang sedang hot dan membuat pilihan yang lebih baik daripada orang lain di pasar saham. Terdengar masuk akal dan intuitif bukan?


Selanjutnya tentang "Modern Portfolio Theory."

 

MODERN PORTFOLIO THEORY (MPT)

MPT adalah semacam kerangka kerja investasi yang membantu investor dalam memaksimalkan return portofolio untuk tingkat risiko tertentu atau meminimalkan risiko untuk tingkat return yang diharapkan. Teori ini berfokus pada diversifikasi (tidak hanya saham, tapi juga ke assets class lainnya selain saham) untuk mengurangi risiko dari keseluruhan portofolio investasi.


Secara simple strateginya sebagai berikut:

  1. Diversifikasi – don’t put all your eggs in one basket
  2. Memilih kombinasi aset yang tidak berkorelasi tinggi satu sama lain untuk mengoptimalkan diversifikasi. Tujuannya untuk mengimbangi pergerakan antar aset supaya mengurangi volatilitas portofolio secara keseluruhan tanpa mengorbankan return. Contoh: secara popular belief saham dan obligasi memilki korelasi negatif ketika pasar saham turun umumnya obligasi naik, saham dan emas untuk menghadapi pasar crash karena emas umumnya naik tinggi saat pasar crash, saham sektor defensif dan siklikal, real estate dan saham, dll


MPT pertama kali digagas oleh Harry Markowitz dalam makalahnya yang berjudul “Portfolio Selection” (1952) yang menjelaskan tentang dasar teori diversifikasi dan pengelolaan portofolio modern. Markowitz menerima hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1990 bersama dengan William F. Sharpe dan Merton Miller.

 

Strategi Sector Rotation & MPT Dalam Investasi Saham

Jadi yang dimaksud kawan saya Yoszy itu adalah berinvestasi saham dengan menggabungkan strategi keduanya tapi asetnya hanya di saham saja tidak ada emas, obligasi, real estate, dll. Strateginya adalah dengan alokasi portofolio yang optimal mencakup saham-saham yang berkorelasi rendah. Misalnya ketika kita membeli sektor teknologi yang diharapkan akan naik, maka kita juga harus memiliki posisi di sektor utilitas yang mungkin stabil atau turun atau kita dapat membeli sektor defensif dan sektor siklikal sekaligus dengan alokasi sesuai kondisi ekonomi saat itu. Harapannya kinerja portofolio kita dapat baik dalam jangka panjang dengan bonus MUNGKIN juga bisa baik dalam jangka pendek.

 

Pendapat Saya Terkait Hal Tersebut:

Secara kenyataan hal tersebut tidak memungkinkan, terutama karena hal tersebut memiliki asumsi yang tidak realistis (pasar dipaksa bekerja efisien dan dapat diprediksi sesuai pandangan investor!!!), padahal kenyataannya pasar saham itu tidak sempurna dan tidak efisien, SAMA SEKALI TIDAK!!! Seringkali pasar saham itu bereaksi berlebihan terhadap berita buruk atau baik yang menciptakan peluang bagi investor yang rajin untuk membeli saham yang sedang undervalued. Terlebih lagi perilaku manusia yang ada di dalam pasar saham seringkali juga sangat bias yang semakin menciptakan inefisiensi pasar. Selanjutnya saya menjelaskannya dengan cara membandingkannya dengan value investing.


MPT memiliki strategi diversifikasi, value investing-pun juga ada diversifikasi dalam pengelolaan portofolionya, secara kesamaannya yaitu untuk risk management, namun secara filosofinya berbeda. MPT beranggapan bahwa lebih banyak aset dalam portofolio akan menciptakan stabilitas, sedangkan value investing menganggap diversifikasi yang berlebihan adalah tanda kurangnya pemahaman terhadap saham yang dibeli oleh investor. Diversifikasi boleh saja dalam jumlah kecil di saham-saham yang benar-benar dipahami, daripada menyebar investasi secara luas tanpa analisis mendalam. If you’re an expert, you don’t diversify much. You find your very best opportunity, and you invest heavily in it. Diversifikasi dalam value investing menurut saya adalah bentuk kerendahan hati seorang value investor bahwa ia tidak dapat mengetahui masa depan sehingga seyakin apapun terhadap saham yang ia miliki tetap ada risiko yang tidak diketahui yang bersifat seperti black swan di masa depan, bukan just for sake to reduce risk! Jadi walaupun keduanya sama-sama berkaitan dengan risiko tapi value investor melakukan diversifikasi dengan pemahaman penuh terhadap investasinya sedangkan MPT melakukan diversifikasi karena kurang memahami sehingga takut akan risikonya.


Dalam MPT, risiko diukur menggunakan standart deviation (volatilitas) terhadap return. Jadi MPT menganggap risiko adalah tentang fluktuasi (naik-turun) harga, tapi tidak berbicara apa-apa tentang kemungkinan kehilangan nilai intrinsik dari suatu bisnis yang sedang kita miliki sahamnya. Oleh karenanya saya dapat mengatakan bahwa MPT ini gagal dalam mempertimbangkan konteks fundamental seperti kualitas bisnis, manajemen, dan margin of safety dalam menentukan risiko. Value investor memandang risiko bukan dari fluktuatif harga saham tapi dari penurunan kualitas bisnis sehingga nilai intrinsik bisnis tersebut turun.


Jadi pendapat saya terhadap strategy sector rotation dan MPT ini adalah saya memiliki keyakinan bahwa strategi tersebut mungkin tidak akan bekerja baik dalam jangka panjang secara umum dalam mengalahkan keseluruhan pasar atau indeks, kecuali Anda benar-benar memiliki informasi atau informan yang A1 yang membuat Anda benar-benar unggul dalam mengetahui hal-hal yang belum diketahui oleh pasar. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada yang sukses menggunakan strategi tersebut, mungkin saja ada, hanya saja saya tidak tahu siapa orangnya. Sebaliknya, yang saya tahu sukses dalam investasi saham, tidak melakukannya dengan cara itu!

 

Value Investing Adalah Pendekatan Investasi Yang Bisa Dilakukan Semua Orang Untuk Mengungguli Pasar Dalam Jangka Panjang

Lalu pendekatan investasi seperti apa yang seharusnya digunakan oleh investor yang ingin mengungguli pasar dalam jangka panjang? Tentu saja pendekatan yang digunakan oleh Benjamin Graham dan pengembangannya hingga saat ini, yaitu value investing! Salah satu faktor kunci mengapa value investing ini sukses dalam mengungguli pasar dalam jangka panjang adalah karena value investing merupakan investasi yang berbasis nilai, sebuah filosofi investasi yang mendasarkan pembelian investasinya dari penilaian terhadap sebuah bisnis lalu jika investor dapat membeli saham dengan harga setidaknya bernilai dua pertiga atau kurang dari nilai jualnya, maka dapat dikatakan bahwa investor itu memiliki banyak keunggulan dibandingkan pasar. Sekalipun bisnis yang Anda beli mungkin kurang berkualitas, namun Anda memiliki margin of safety yang besar.


Namun, Ben Graham hidup dan berinvestasi pada saat pasar saham tempatnya berinvestasi sedang berada dalam great depression tahun 1930-an yang sekaligus merupakan kontraksi pasar terburuk di dunia dalam sekitar 600 tahun. Pada waktu itu orang-orang di pasar saham mengalami fear dalam waktu yang lama sehingga Ben Graham dapat menemukan banyak bisnis dijual di bawah working capital-nya per lembar saham dan pada masa itu working capital benar-benar milik para owner dan pemegang saham. Jika karyawan tidak lagi berguna, maka owner tinggal memberhentikan saja semuanya, lalu mengambil working capital dan memasukkannya ke kantongnya sendiri. Begitulah cara kerja kapitalisme pada saat itu.


Kondisi tersebut tentu sudah berbeda dengan saat ini, akuntansi pada saat ini tidak terlalu realistis, karena begitu bisnis mulai memburuk, aset yang signifikan yang sebelumnya tercatat di neraca bisa saja lenyap. Dengan aturan hukum dan akuntansi yang semakin berkembang, perusahaan memiliki ikatan dan kewajiban kepada karyawan yang kuat dan dilindungi hukum, ada sesuatu yang harus dibayarkan dan menjadi hak karyawan, pajak, kreditur-kreditur preferen dan separatis perusahaan. Sehingga begitu kondisi bisnis perusahaan mulai memburuk dan pada akhirnya bangkrut, maka beberapa aset pada neraca tidak lagi ada karena alasan tersebut.


Ibarat jika Anda memiliki toko kelontong yang dijaga sendiri bergantian dengan pasangan Anda dan memiliki karyawan tidak lebih dari 5 orang, maka usaha Anda termasuk usaha mikro. Anda mungkin dapat menjalankannya sedemikian rupa sehingga tidak ada risiko-risiko seperti yang dialami oleh perusahaan publik. Ketika usaha Anda memburuk, Anda dapat mengambil working capital Anda dan tutup saja usahanya. Tetapi PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (SRIL) alias Sritex tidak bisa seperti itu! Lihat saja apa yang hilang dari neracanya ketika perusahaan mulai memburuk sejak tahun 2020-2024.



Alasan-alasan inilah yang membuat saya dan tim di Arvest menggunakan pendekatan “3R” dalam investasi kami yaitu Right Business, Right Management & Right Price yang tercermin dalam kredo dan logo (tunas sawit) perusahaan kami The Arvest Way”. Kami percaya dalam jangka panjang investasi kami akan bertumbuh dan berbuah seperti tanaman sawit yang juga membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berbuah secara maksimal.


 

Thanks for reading