Pada artikel kali ini saya ingin membahas tentang salah satu metode valuasi relatif yang cukup populer bahkan di kalangan trader atau lebih tepatnya value trader. Pernahkah Anda mendengar tentang value trader? ya istilah ini saya dapatkan dari salah seorang teman saya yang juga investor saham, jadi value trader ini sejatinya adalah trader saham namun strategi entry dan exit-nya ala analisis fundamental, aliran ini tidak bicara tentang support & resistance, moving average, dll yang biasanya jadi topik para trader saham, sebaliknya mereka membicarakan tentang kualitas perusahaan, laporan keuangan dan tentu saja valuasi yang “murah” yang menjadi alasan untuk membeli.


Lalu bedanya dimana dengan value investor? Bedanya adalah value investor berinvestasi karena ada rasa ingin memiliki terhadap bisnis/perusahaan berdasarkan fakta dan reasoning hasil analisisnya. Sedangkan value trader tidak, mereka sama seperti pada umumnya trader saham yang melakukan jual beli saham hanya saja menggunakan alasan-alasan fundamental ala value investor. Oleh karena itu seringkali timeframe investasi dari value trader ini relatif lebih pendek dibandingkan value investor, mereka suka berpindah-pindah saham yang mereka anggap “murah” dan analisis fundamentalnya pada umumnya hanya pada permukaan saja, tidak benar-benar mendalam. Nah, parameter murah/mahal yang paling sering digunakan adalah Price to Book Value (PBV) dan Price to Earning Ratio (P/E). Kali ini saya bahas yang PBV dulu.


Teman value trader yang saya ceritakan di atas itu suka membeli saham yang PBV-nya nol koma sekian dan keluar ketika mendekati PBV 1x. Watchlist-nya berisi saham-saham yang PBV-nya di bawah 1 dan berpindah-pindah di saham-saham itu, jika saham yang dibelinya sudah naik maka ia akan menjualnya dan berpindah ke saham PBV nol koma yang belum naik atau belum gerak. Secara umum teman saya itu juga mengetahui perusahaan yang dibelinya bergerak di bisnis apa, dipimpin oleh manajemen siapa, dan hasil kinerjanya seperti apa, hanya saja tidak secara mendalam, hanya berandalkan keystats di aplikasi sekuritas dan membaca laporan keuangan terbaru saja. PBV-nya juga tinggal lihat saja di aplikasi sekuritas berapa nilainya. Nah, bagian terakhir ini menurut saya as value investor bisa sangat berbahaya jika kita tidak memahami apa yang terkandung dalam nilai buku perusahaan. Saya kurang setuju dengan cara penggunaan PBV seperti itu yang digunakan di semua jenis perusahaan tanpa pandang bulu bidang bisnis perusahaannya. Inilah perbedaan mencolok tentang apa yang dianggap RISK oleh value investor dan value trader. Seperti umumnya trader saham, value trader menganggap naik turunnya harga saham sebagai risk, sedangkan value investor memandangnya sebagai opportunity. Risk bagi value investor adalah turunnya nilai intrinsik perusahaan, BUKAN NAIK TURUN HARGA SAHAM! Kalau Anda sudah yakin dengan kualitas perusahaan dan sudah membelinya di harga yang murah, lalu harga sahamnya turun dari harga pertama kali Anda beli, maka Anda diberikan kesempatan untuk membelinya di harga yang lebih murah lagi, asalkan nilai intrinsiknya tetap sama atau bahkan bertumbuh.

 

FORMULA PBV :

PBV = Market Cap / Ekuitas


Atau


PBV = Harga per lembar saham / Nilai buku per lembar saham*

 

*Nilai Buku Per Lembar Saham = Ekuitas / Jumlah saham beredar

*Saat menghitung Ekuitas, anda dapat memodifikasi rumusnya dengan mengurangkan intangible assets dan goodwill jika memang dirasa perlu serta gunakanlah “ekuitas yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk.”

 

UNDERSTANDING PRICE TO BOOK VALUE (PBV)

Jika Anda melihat laporan neraca perusahaan, nilai buku adalah selisih antar aset perusahaan dan liabilitasnya atau dengan kata lain adalah EKUITAS. Kami di Arvest jarang menggunakannya sebagai tolok ukur value saat menganalisis perusahaan non-keuangan. Alasan utamanya adalah karena sebagian besar aset (dan beberapa liabilitas) pada laporan keuangan perusahaan tidak mencerminkan kondisi/realitas ekonomi perusahaan.


Di masa lalu, ketika ekonomi masih didominasi oleh bisnis manufaktur, tanah dan pabrik yang nilainya tercatat dalam neraca lalu dikurangi utang-utang perusahaan, menjadi indikasi dari ekuitas (nilai buku) perusahaan. Namun, bahkan pada saat itu, ukuran nilai buku ini memiliki kelemahan, karena metodenya adalah mencatat nilai aset jangka panjang (seperti tanah) berdasarkan biaya perolehannya. Jika nilai tanah tersebut meningkat seiring waktu, nilainya dalam laporan keuangan perusahaan tidak akan berubah. Hal ini juga masih terjadi di masa kini, nilai buku terlihat besar sekali karena perusahaan tidak melakukan revaluasi aset tetapnya. Di lain sisi ada perusahaan yang gemar melakukan revaluasi asetnya sehingga secara PBV tampak rendah karena nilai revaluasinya terlalu tinggi. Tujuannya secara umum agar perusahaan dapat mendapatkan utang bank yang lebih banyak lagi. Saya cenderung lebih suka opsi yang pertama, karena melakukan revaluasi berkali-kali adalah pemborosan dan meningkatkan risiko bisnis apabila tujuannya untuk menambah plafon utang, sekaligus menjadi risiko pada perusahaan bank yang memberikan utang tersebut apabila tidak prudent.


Nilai buku di laporan neraca saat ini bahkan lebih tidak relevan lagi bagi sebagian besar perusahaan. Saya mengambil contoh PT. HM Sampoerna, Tbk (HMSP) pada tahun 2005 silam: Salah satu perusahaan paling bernilai di Indonesia waktu itu bahkan di atas BBCA. Philip Morris International melalui anak usahanya yang ada di Indonesia mengakuisisi mayoritas saham HMSP. Nilai yang tidak Anda lihat dalam neraca HMSP waktu itu adalah “kilau” di mata pelanggannya saat mereka menggunakan produk perusahaan. Kilau ini adalah intangible good yang diciptakan HMSP melalui produk-produk revolusionernya. Nilai ini (bersumber dari very strong brands seperti Dji Sam Soe, A Mild, Sampoerna Hijau, dll yang memiliki pricing power sangat baik) diciptakan oleh R&D serta pemasaran yang unggul, yang keduanya adalah item pada analisis kualitatif serta di laporan laba rugi dan tidak pernah tercermin dalam neraca, setidaknya tidak dalam bentuk yang nyata dan mudah diamati. Oleh karena itu analisis fundamental value investor itu tidak cukup hanya pada laporan keuangan, sebagian besar ada pada hal-hal kualitatif.


Namun lihatlah harga Philip Morris saat membeli HMSP di harga Rp. 10.600 per lembar saham pada waktu itu yang premium 20% di atas harga saham yang diperdagangkan. Bahkan harga saham yang diperdagangkan pada saat itu saja sudah berkali-kali lipat dari nilai ekuitasnya. Fyi, nilai buku HMSP di tahun 2005 adalah Rp. 4.58T dan dengan jumlah saham beredar sebesar 4.383 juta lembar saham maka book value per share-nya sekitar Rp. 1.044 per lembar. Harga per lembar saham HMSP pada waktu itu ada di sekitar Rp. 8.500 rupiah alias sudah dijual di PBV 8,1x. Sedangkan Philip Morris membeli di PBV 10,2x!!! Overvalued? Yes, jika Anda hanya memvaluasinya dari parameter PBV.


Hal lain yang membuat ini lebih rumit adalah apabila perusahaan melakukan corporate action seperti Share Buybacks (Pembelian kembali saham) dan pembagian dividend yang juga “tidak baik” untuk nilai buku. Misalnya seperti PT. Alamtri Resources Indonesia, Tbk (ADRO) meskipun pada 2024 mencatatkan laba bersih US$ 1,6 miliar tapi nilai bukunya turun dari US$ 7,4 miliar pada 2023 menjadi US$ 5,4 pada 2024. Bagaimana ini bisa terjadi? ADRO membeli sahamnya sendiri senilai puluhan juta dolar di pasar saham publik dan membagikan dividen miliaran dolar pada pemegang sahamnya. Jadi saran saya saat menggunakan valuasi PBV, galilah lebih jauh ke seluk-beluk nilai buku perusahaan alias secara sederhana: perhatikan aktivitas-aktivitas yang mendistorsi nilai buku perusahaan!


Saat menganalisis perusahaan non-keuangan, saya memperhatikan banyak hal, seperti asetnya (terutama kas, piutang usaha, dan persediaan) dan liabilitasnya (utang usaha dan pinjaman), tetapi jarang memberi perhatian besar pada nilai bukunya karena alasan-alasan di atas.


Perusahaan keuangan (terutama banking) adalah cerita yang berbeda dan saya sendiri baru memperhatikan benar-benar PBV di perusahaan keuangan. Aset mereka (sebagian besar uang tunai dan surat berharga) dan liabilitas mereka (dana pihak ketiga dan deposito) harus dinilai sesuai nilai pasar (marked to market) setiap kuartal, sehingga nilai buku menjadi metrik yang berguna, ingat sebagian besar aset perusahaan perbankan adalah uang kas yang nilainya sesuai nilai pasar saat itu serta sangat likuid. Ketika Anda membeli PT. Bank Central Asia, Tbk (BBCA) di harga satu kali nilai buku (PBV 1x), pada dasarnya Anda membeli perusahaan itu seharga nilai likuidasinya saja, tanpa membayar apa pun untuk kemampuan perusahaan itu untuk bertumbuh di masa depan, tingkat pengembalian modalnya yang superior, budayanya yang unik, dll. Dengan kata lain, membeli bank yang dikelola dengan buruk pada nilai buku mungkin bukanlah kesepakatan yang menguntungkan, tetapi membeli salah satu bank dengan pengelolaan terbaik di Indonesia pada nilai buku adalah kesempatan yang luar biasa. Tapi kapan BBCA dihargai PBV 1x? tidak ada yang tahu, namun apabila di masa depan BBCA ada di PBV 1x, apakah Anda berani beli? Atau Anda malah curiga bagaimana mungkin BBCA harga sahamnya hanya 1x nilai buku? BBCA adalah salah satu Religion Stock di IHSG dalam waktu yang lama.

 

Thanks for reading…