Yang membuat investasi (dan bisnis investasi) begitu sulit dan penuh gejolak adalah adanya siklus sekuler boom dan bust yang panjang dan ekstrem. Saya tidak menemukan istilah yang tepat dalam Bahasa Indonesia, boom = ledakan/booming dan bust = kontraksi tajam. Intinya ini adalah fluktuasi ekonomi yang berulang, di mana suatu industri, sektor, atau ekonomi secara keseluruhan mengalami periode pertumbuhan pesat (boom), lalu diikuti oleh kontraksi tajam (bust). Siklus ini sering terjadi dalam kondisi ekonomi suatu negara dan banyak dipengaruhi oleh faktor seperti supply/demand, kebijakan moneter, inovasi teknologi, dan sentimen investor. Jadi biarkan istilahnya demikian saja ya boom and bust. Oh ya, saya sarankan Anda terlebih dahulu membaca artikel kami yang berjudul "Siklus Sekuler & Siklikal Dalam Pasar Saham" terlebih dahulu jika belum memahami siklus yang ada di pasar saham.
Siklus sekuler bisa saja berlangsung puluhan tahun. Masa boom berlangsung setidaknya satu dekade atau lebih lama, seperti contohnya di Indonesia pada periode 1998-2008 dan 2009-2019, beberapa investor value investing yang sudah berinvestasi saham di masa itu, saat ini berakhir sangat kaya raya, sedangkan masa bust biasanya lebih singkat tetapi dapat menghancurkan kehidupan, kekayaan, dan model bisnis seperti yang terjadi di 1990-1991, 1997-1998, dan 2019-2020.
Kata "siklus" berasal dari "cycle," yang menurut kamus Webster berarti “rentang waktu yang berulang di mana peristiwa atau fenomena tertentu terjadi dalam urutan yang sama.”
Siklus sekuler, baik di pasar secara keseluruhan maupun di sektor tertentu, membuat pengelolaan perusahaan investasi besar menjadi sangat penuh konflik jika dikelola dengan pola pikir bisnis pada umumnya. Hal ini terjadi karena keputusan rasional untuk memaksimalkan profitabilitas jangka pendek sering kali bertolak belakang dengan strategi investasi yang benar dan keberlanjutan dengan tujuan profitabilitas jangka panjang.
Sebagai contoh, Barton Biggs seorang manajer portofolio dalam bukunya menceritakan, di pasar saham Amerika pada tahun 2000, bahkan ketika gelembung dot-com mulai pecah, Morgan Stanley Investment Management (yang memiliki manajemen berbasis bisnis) bertindak seperti pebisnis non-investasi yang fokusnya jualan produk bukan fokus berinvestasi. Mereka secara agresif mempromosikan reksa dana saham teknologi dan pertumbuhan agresif karena produk-produk inilah yang bisa dijual oleh tenaga penjualan dan yang ingin dibeli oleh publik. Manajemennya mungkin bukanlah orang jahat, mereka hanya melakukan apa yang mereka anggap benar dalam kacamata bisnis. Alhasil, dana publik dalam jumlah besar terkumpul, tetapi dengan cepat terkikis nilainya hingga hampir habis. Keuntungan jangka pendek dari penjualan reksa dana ini didapat dengan mengorbankan investor dan kredibilitas serta profitabilitas jangka panjang perusahaan.
Kesalahan juga terjadi ke arah sebaliknya pada musim semi tahun 2003 ketika mereka menutup Asian Equity Fund, yang berinvestasi di pasar Asia selain Jepang. Fund tersebut telah menyusut dari $350 juta sepuluh tahun sebelumnya, saat "Asian Miracle" (periode 1990-an saat negara-negara Asia Timur dan Tenggara mengalami pertumbuhan ekonomi pesat sejak 1960 hingga awal 1990-an ) menjadi sorotan dunia investasi, menjadi kurang dari $10 juta. Dengan aset yang begitu kecil, menutup fund ini memang merupakan keputusan bisnis yang masuk akal dalam jangka pendek. Saat itu, tampaknya memang sudah tidak ada lagi minat investor terhadap Asia.
Namun, pada kenyataannya, pasar Asia saat itu sangat murah, ekonomi di kawasan tersebut sedang tumbuh pesat, dan saham-saham Asia adalah tempat yang tepat untuk berinvestasi. Diceritakan Barton Biggs waktu itu dengan keras menentang penutupan dana ini dan berpendapat bahwa seiring dengan pulihnya pasar, akan ada arus masuk modal baru. Sayangnya, tidak ada yang setuju dengannya, dan fakta bahwa mereka tidak setuju sebenarnya adalah salah satu “sinyal beli” bagi investor lain.
Kasus penutupan Asian Equity Fund ini hanyalah contoh dari pola umum yang selalu terjadi pada umumnya reksa dana (mutual fund). Uang publik biasanya membanjiri reksa dana tertentu setelah kinerjanya sudah bagus, bukan sebelum itu alias pada saat kinerjanya buruk dan sebaliknya, uang keluar setelah kinerjanya buruk, biasanya tepat sebelum dana tersebut kembali berkinerja baik.
Pada tahun 1999 dan 2000 di US, miliaran dolar masuk ke reksa dana teknologi saat Nasdaq naik mendekati 5.000. Faktanya, sekitar 80% dari seluruh dana publik yang diinvestasikan dalam reksa dana pada puncak bubble di musim semi 2000 masuk ke Technology Fund. Dalam tiga tahun berikutnya, ketika Nasdaq anjlok ke 1.000, investor kehilangan 60% hingga 80% uang mereka. Penjualan besar-besaran terjadi pada 2002 dan 2003, tepat sebelum Nasdaq kembali naik dua kali lipat. The Herd Is Almost Always Wrong!
Seorang trader saham legendaris Jesse Livermore suatu ketika pernah berkata tentang strateginya dalam berinvestasi, Ia menjawab, "Buy Low Sell High." Tetapi publik justru melakukan kebalikannya: mereka membeli saat harga tinggi dan menjual saat harga rendah (Buy High Sell Low). Salah satu alasannya adalah karena industri reksa dana memiliki bias insentif kuat (incentive caused bias) untuk menjual produk yang paling mudah dijual DAN YANG PALING MUDAH DIJUAL ADALAH YANG SEDANG BOOMING/HOT.
Saya rasa inilah makna penting dari perkataan salah satu mutual fund manager paling legendaris, Peter Lynch, “If I could avoid a single stock, it would be the hottest stock in a hot industry.”
Publik tidak pernah belajar, dan industri reksa dana tidak pernah bisa melewatkan kesempatan dan godaan untuk menghasilkan uang dalam jangka pendek betapapun itu tidak align dengan tujuan klien-kliennya. Namun, para pelaku industri reksa dana mungkin bukanlah orang jahat. Dalam euforia pasar bullish, dengan saham-saham yang meroket, mereka benar-benar percaya bahwa this time is different! Tetapi pada kenyataannya, tidak pernah berbeda!
Beberapa tahun yang lalu, Dalbar, sebuah lembaga riset ternama, melakukan studi tentang imbal hasil investasi publik dalam reksa dana. Hasilnya mengejutkan. Selama pasar bullish besar yang berakhir pada awal 2000, indeks S&P 500 mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 16%. Rata-rata reksa dana ekuitas AS tumbuh 13,8% per tahun, yang tidak mengherankan mengingat biaya rata-ratanya untuk management fee tahunan sekitar 2,2%.
Namun yang benar-benar mengejutkan adalah temuan Dalbar bahwa rata-rata investor reksa dana hanya mendapatkan return sebesar 7% per tahun. Mengapa? Karena rata-rata investor terlalu sering berpindah (atau dipindahkan oleh broker) dari satu fund ke fund lain atau ke uang tunai pada saat yang salah.
Fenomena arus dana publik yang selalu masuk dan keluar di waktu yang salah itu juga terjadi pada dana kelolaan Peter Lynch, padahal Ia adalah manajer investasi Reksa Dana paling sukses dalam sejarah pada saat mengelola Fidelity Magellan Fund dari tahun 1977 – 1990 dengan CAGR (Compounded Annual Growth Rate) 29,2% per tahun. Walaupun sukses besar, namun uniknya, para investornya justru sebagian besar gagal merasakan keuntungan maksimal. Mengapa demikian?
- Investor masuk dan keluar di waktu yang salah. Sebagian besar investor membeli saat pasar sedang naik (FOMO) dan menjual saat turun (panik). Ini menyebabkan mereka tidak menikmati keuntungan penuh dari strategi investasi jangka panjang yang diterapkan Lynch. Saat saham sedang booming, investor berbondong-bondong masuk ke Magellan Fund, ketika pasar terkoreksi, mereka panik dan menarik dana sebelum harga saham kembali naik. Akibatnya, mereka membeli di puncak dan menjual di dasar, menghasilkan return negatif atau lebih rendah dari kinerja Fund itu sendiri.
- Psikologi investor yang terlalu emosional. Peter Lynch sering mengatakan “The real key to making money in stocks is not to get scared out of them." Namun, banyak investor tidak bisa bertahan dalam volatilitas. Mereka terlalu fokus pada pergerakan harga jangka pendek dan takut kehilangan uang saat pasar turun, meskipun fundamental perusahaan tetap kuat.
Bagi investor publik, mencoba timing pasar dan mengikuti tren yang sedang populer adalah aktivitas yang sia-sia dan mahal.
Industri Investasi: Umumnya Menguntungkan Perusahaan, Merugikan Investor Ritel.
Model bisnis beberapa jenis perusahaan investasi secara umum menciptakan kekayaan besar bagi pelaku bisnisnya tetapi umumnya gagal melayani kepentingan individu klien-kliennya. Sayangnya di Indonesia saya rasa banyak yang belum memahami fakta ini. Inilah beberapa jenis perusahaan investasi yang ada di Indonesia:
- Sekuritas: pendapatannya berasal dari fee trading (umumnya 0,15% beli dan 0,25% jual, total 0,4% dalam 1 kali siklus trading beli-jual, kalau di atas ini termasuk mahal fee-nya), model bisnisnya secara simpel adalah mencari nasabah sebanyak mungkin atau nasabah korporasi berdana besar. Lalu dengan berbagai macam cara, membuat grup saham, memberikan broadcast-an message setiap hari, dengan berbagai macam tips saham yang boleh dibeli. Tujuannya jelas untuk menstimulasi agar nasabah-nasabahnya trading. Semakin sering trading perusahaan sekuritas akan semakin mendapatkan banyak fee, tidak terlalu peduli nasabahnya untung atau rugi. Coba bayangkan perusahaan sekuritas yang seluruh nasabahnya value investor semua, sekali buy saham bisa hold selama bertahun-tahun, bisa bangkrut perusahaan sekuritas itu karena cuma dapat fee sekali saja dalam bertahun-tahun. Sebaliknya jika nasabah-nasabahnya scalper (buy-sell dalam 1 hari) semua, betapa menguntungkannya 0,4% fee itu. Padahal semakin sering kita trading, dengan 0,4% fee maka ketika kita menyentuh angka 250x trading sebenarnya modal awal kita sudah habis untuk fee saja. Kepentingan perusahaan dengan kliennya sudah tidak sejalan.
- Reksa Dana: pendapatannya dari management fee yang dipotongkan dari total AUM (Asset Under Management). Umumnya berkisar sekitar 0,2% - 3% per tahunnya tergantung pengelolaannya dikelola secara pasif atau aktif. Untuk yang dikelola secara pasif seperti reksa dana pasar uang dengan instrument deposito dan obligasi jangka pendek biaya pengelolaannya relatif rendah, sedangkan reksa dana saham yang dikelola secara aktif seperti saham maka biayanya akan semakin tinggi. Fokus bisnisnya adalah memperbesar AUM agar fee-nya makin besar. Tidak peduli kinerjanya sedang positif atau negatif mereka akan tetap menarik management fee. Kepentingan perusahaan dengan kliennya tidak sejalan.
- Hedge Fund: Struktur pendapatannya adalah double fee yaitu dari management fee (sama dengan reksa dana) sebesar 1-2%/tahun dan performance fee (persentase dari kenaikan dana kelolaan) sebesar 20-30%/tahun. Bedanya dengan reksa dana, hedge fund ini target market kliennya bukan dari orang umum alias semua orang bisa join, tapi terbatas dan privat dengan besaran minimal dana yang mau dikelola dan terikat kontrak terkait lamanya jangka waktu pengelolaannya. Umumnya profil kliennya adalah orang atau institusi yang masuk kategori UHNW (Ultra High Net Worth). Struktur demikian adalah abu-abu, di satu sisi perusahaan hedge fund tetap mendapatkan income terlepas hasil investasinya positif atau negatif dari management fee, sedangkan apabila hasilnya positif maka akan mendapatkan lebih besar income dari performance fee. Kepentingan perusahaan dan klien tidak 100% sejalan tergantung dari fokus manajer investasinya, apabila manajer investasinya fokusnya memperbesar AUM maka sudah pasti tidak sejalan karena ia mengincar management fee seperti reksa dana, tapi apabila manajer investasinya fokus pada performa investasi jangka panjang maka dapat dikatakan masih sejalan dengan kepentingan klien. Kami sendiri (Arvest) sebenarnya adalah perusahaan Hedge Fund dengan pengelolaan fokus di saham Indonesia. Namun kami tidak menerapkan double fee seperti umumnya hedge fund companies, kami meniadakan management fee alias 0% management fee, hanya mengenakan performance fee saja di akhir periode pengelolaan sehingga kepentingan perusahaan dengan klien 100% align.
- Asuransi: Saya tidak sedang mengomentari asuransi dalam fungsinya sebagai proteksi risiko, yang saya bahas disini adalah asuransi dengan unit link. Sehingga asuransi yang sejatinya adalah “proteksi”, ketika ia digabungkan dengan unit link maka bisa disebut sebagai produk “investasi”. Setidaknya begitulah yang saya alami sendiri, sales asuransi yang selama ini mendatangi saya untuk menawarkan produk asuransinya mengatakan bahwa itu adalah investasi bonus proteksi. Penjelasan untuk yang satu ini sama dengan reksa dana, karena unit link itu sendiri dibaliknya adalah perusahaan reksa dana yang mengelola sebagian uang premi nasabah. Harapannya ketika nasabah sedang mengalami kesulitan dan tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, maka uang dari unit link-nya itu bisa menjadi pengganti untuk melanjutkan premi. Namun, seringkali yang terjadi uang di unit link ini jumlahnya berkurang bahkan menurun drastis karena kinerja perusahaan reksa dana yang mengelolanya buruk. Hal yang tidak masuk akal disini adalah ketika orang membeli produk proteksi asuransi umumnya durasi polisnya adalah 10-20 tahun atau seumur hidup kalau asuransi jiwa, tapi unit link-nya dikelola dengan fokus keuntungan jangka pendek dengan management fee umumnya reksa dana sekitar 1-2%. Kepentingan perusahaan dengan klien juga tidak sejalan disini.
Selebihnya ada P2P Lending, Equity Crowdfunding, Robo-advisory & Digital Wealth, dimana bila Anda sadari banyak yang bermasalah akhir-akhir ini.
Winston Churchill setelah pertempuran Inggris (20 Agustus 1940) berpidato tentang heroisme dan keberanian luar biasa ke beberapa skuadron Angkatan Udara Kerajaan (RAF). Pada saat itu, Britania Raya berada di ambang invasi oleh Nazi Jerman. Meskipun kalah jumlah sepuluh banding satu oleh Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman), namun hal itu telah mencegah bencana lebih lanjut, bertahannya Inggris dari serangan Lutwaffe itu pada akhirnya memaksa Hitler untuk menunda dan akhirnya membatalkan rencana invasi. Dalam pidatonya yang terkenal, ia menyatakan:
"Tak pernah dalam sejarah manusia, begitu banyak yang berutang begitu besar kepada begitu sedikit orang."
Chris Davis, presiden Davis Funds dan seorang pemikir yang tajam, mengadaptasi pidato Churchill ini untuk menggambarkan industri reksa dana:
"Tak pernah dalam sejarah keuangan, begitu banyak membayar begitu mahal kepada begitu sedikit orang."
Menyedihkan tapi benar. Namun, sejarah komersial dunia menunjukkan bahwa ketimpangan ini pada akhirnya akan diperbaiki walaupun dengan cara yang menyakitkan.
Tentu saja, hasil buruk bagi investor individu sebagian juga merupakan kesalahan mereka sendiri. Mereka umumnya tidak memiliki ketahanan mental, sumber daya riset, atau komitmen waktu yang cukup untuk bersaing dengan profesional. Orang yang rasional tidak akan bermimpi untuk bersaing melawan atlet profesional demi uang, atau melawan pemain kartu profesional dalam permainan taruhan tinggi. Lalu mengapa mereka mencoba melakukannya di pasar saham?
Investor publik dan manajemen perusahaan investasi yang berorientasi pada imbal hasil jangka panjang sudah seharusnya memahami betapa pentingnya untuk tidak sekadar mengikuti kerumunan (Herd Mentality). Inilah poin penting yang perlu dipahami setiap investor saham. The Herd Is Seldom Right! Tidak ada yang namanya sukses bersama-sama di investasi, as John Maynard Keyness said, “Success in investing is belong to minority, never to majority”. Jadi hati-hati jika ada grup saham berisi banyak orang, lalu di dalam grup itu ada rekomendasi untuk membeli saham tertentu, jangan-jangan itu adalah strategi untuk exit. Karena jika semakin banyak orang yang ingin membeli dibandingkan orang yang ingin menjual maka harga saham akan naik dalam jangka pendek, begitu juga sebaliknya.
Thanks for reading…