COMPANY OVERVIEW

ESSA adalah perusahaan produsen LPG dan kondensat di Indonesia yang sudah beroperasi secara komersial sejak tahun 2007 dan melakukan IPO pada tahun 2012. ESSA memiliki dan mengoperasikan kilang LPG terbesar kedua milik swasta di Indonesia yang berlokasi di Palembang. Sebagai diversifikasi bisnis, ESSA mengakuisisi pabrik amoniak PT. Panca Amara Utama (PAU) dengan total kepemilikan 59,98% saham (sisanya dimiliki oleh Genesis Corporation, Garibaldi Thohir, Vinod Laroya, dan PT. Daya Amara Utama. Semuanya pihak berelasi ESSA) dan kemudian melakukan penambahan saham PAU di 2023 sehingga kepemilikan ESSA genap 70%. PAU berlokasi di Luwuk dan memperoleh pasokan bahan baku gas alamnya dari Joint Operation Body (JOB) Pertamina-Medco di Tomori Sulawesi.


ESSA awalnya bernama PT. Surya Esa Perkasa, Tbk dan baru berubah nama menjadi PT. ESSA Industries Indonesia, Tbk pada 9 Oktober 2023 untuk keperluan rebranding. Tidak disebutkan secara rinci apa tujuan perubahan nama ini, kalau kita lihat di website resminya sih hanya menyebutkan hal-hal yang formal saja seperti:


“Perseroan akan melanjutkan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap keunggulan di bidang manufaktur, kelestarian lingkungan, dan pembangunan masyarakat. Perkembangan Perseroan di masa depan menjadi tidak terbatas.”


Tapi kalau menurut hemat kami, nama barunya ini terdengar lebih bonafit dan global jadi mungkin rebranding-nya ke arah ESSA ini bisa saja ditujukan untuk menarik minat investor asing/global dan juga terbuka peluang untuk diversifikasi ke berbagai industri, tidak hanya LPG dan amoniak saja. Sebelumnya ESSA ini kan produsen LPG yang juga berekspansi ke amoniak, saat ini bisa saja ESSA masuk ke industri hilir atau produk turunan dari amoniak lainnya, seperti urea, methanol, dll. Intinya menjadi industri petrokimia yang lebih ke hilir. Ini kami rasa sejalan dengan mulai di produksinya blue ammonia yang membuat ESSA jadi punya stok CO2 yang bisa dijual atau dimanfaatkan lagi oleh ESSA.

 

PRODUK-PRODUK ESSA & PENGGUNAANNYA

So, jualan ESSA ini ada 2 yang utama yaitu:

  1. Liquefied Petroleum Gas (LPG): Mengolah gas bumi menjadi LPG dan kondensat. Kegunaan LPG untuk rumah tangga (60-70%), industri (15-20%), petrokimia (5%). Sedangkan Kondensat digunakan sebagian besar untuk industri petrokimia dan campuran bahan bakar minyak (bensin dan diesel).
  2. Amonia: Memproduksi amonia sebagai bahan baku pupuk, bahan kimia industri, dan sektor energi. Amoniak digunakan sebagian besar untuk industri pupuk (sekitar 80%) untuk bahan baku utama urea, ammonium nitrate, dan ammonium sulfate unsur “N” dalam pupuk NPK, sisanya digunakan di industri kimia (nitric acid & zat pendingin refrigerant), industri tekstil untuk produksi serat sintetis dan industri plastik.


Bahan baku kedua produk ESSA ini adalah natural gas alias gas alam. Disini kita bisa langsung tahu bahwa bisnis ESSA ini profitabilitasnya sangat tergantung dengan naik/turun harga gas alam.


Konsumennya cuma ada 2 yaitu untuk produk LPG (dijual di dalam negeri) dan Genesis Corporation (pihak berelasi, perusahaan trading ekspor) untuk produk amoniak dengan market utama Korea, Taiwan, Jepang dan sebagian kecil ke China. Keduanya menggunakan skema kontrak jangka panjang.


Dulunya backbone ESSA adalah di bisnis LPG dengan nilai revenue yang stabil, namun sejak 2018 ketika ESSA berekspansi ke pabrik amoniak, struktur revenue-nya berubah, LPG tidak lagi penyumbang revenue dominan digantikan dengan amoniak. Lihat tabel berikut:

Revenue LPG hanya berkontribusi tidak lebih dari 15% dari revenue ESSA, sisanya adalah bisnis amoniak. LPG revenue-nya cukup stabil dan sepertinya memang tidak ada pertumbuhan di market domestik, secara harga juga sangat diregulasi oleh pemerintah, sedangkan bisnis amoniak lebih luas marketnya hingga ekspor dengan room to growth yang besar.


Amoniak dari Indonesia itu umumnya diarahkan untuk pasar Korea Selatan, Taiwan, Jepang dan sekitarnya. Secara global hampir 80% amoniak ini digunakan di industri pupuk untuk bahan baku produksi pupuk. Di Taiwan ada penggunaan khusus amoniak ini untuk proses produksi semikonduktor, di Jepang juga secara khusus digunakan di industri energi dan maritim. Jepang sedang mengembangkan penggunaan amoniak sebagai bahan bakar alternatif untuk pembangkit listrik namun saat ini masih dalam tahap uji coba menggunakan campuran bahan bakar amoniak 20% di pembangkit listrik tenaga batubara. Sedangkan di industri maritimnya, sejak 2021 Jepang sedang uji coba proyek kapal tunda bernama Sakikage yang berbahan bakar amoniak. Ini merupakan bagian dari inovasi hijau. Kapal Sakikage ini baru saja jadi di akhir 2024.

 

Analisis Strategi ESSA Di Masa Depan

Pertama kita harus mengetahui dulu apa bedanya Grey Ammonia dengan Blue Ammonia:

-        Grey Ammonia adalah amoniak yang diproduksi menggunakan gas alam sebagai bahan baku tetapi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan dilepaskan langsung ke atmosfer sehingga berpotensi besar menimbulkan efek gas rumah kaca.

-        Blue Ammonia adalah amoniak yang sama dengan grey ammonia, tetapi dengan penerapan carbon capture dimana sebagian besar emisi CO₂ ditangkap dan disimpan. CO₂ itu dimasukkan kembali ke dalam bumi pada sumur-sumur gas (sequester). ESSA rencananya baru melakukan finalisasi lokasi sumur dan pengeboran serta konstruksinya di 2026.


Saat ini ESSA sedang dalam proses mengkonversi pabrik existing yang selama ini memproduksi Grey Ammonia menjadi Blue Ammonia dengan kapasitas produksi yang sama. Proyek ini diperkirakan baru selesai sepenuhnya di tahun 2027. Harapannya blue ammonia akan berkontribusi ke peningkatan harga jual yang lebih premium kepada ESSA sehingga margin labanya bisa menjadi lebih baik.


Ada beberapa sebab yang dapat membuat blue ammonia memiliki premium pricing dibandingkan grey ammonia:

1.      Permintaan dari industri yang ingin mengurangi emisi karbon seperti industri di sektor energi, petrokimia, dan pertanian yang bersedia membayar lebih mahal untuk blue ammonia demi memenuhi target ESG.

2.     Negara-negara yang memiliki pajak karbon (carbon tax) atau kebijakan perdagangan karbon (carbon trading) lebih memilih blue ammonia karena mengurangi emisi karbon.

3.     Ada potensi pasar hydrogen, blue ammonia bisa digunakan sebagai carrier hydrogen rendah karbon yang semakin banyak dicari sebagai energi bersih di masa depan. Hidrogen murni sulit untuk disimpan dan diangkut, sedangkan amoniak lebih stabil dan mudah ditransportasikan dan pada tempat tujuan bisa dipecah kembali menjadi hydrogen, yang kemudian bisa digunakan untuk sumber energi bersih. Jepang sudah mulai mengembangkan pembangkit listrik berbahan dasar amoniak untuk menggantikan batubara, Korea Selatan memiliki strategi hydrogen nasional dengan target mengurangi emisi karbon dari industri dan transportasinya. Begitu juga Uni Eropa, menargetkan hydrogen sebagai sumber energi bersih utama dalam transisi energi.

Tapi dari sudut pandang beban, untuk memproduksi blue ammonia ini akan ada tambahan baik dari capex untuk membangun sumur yang digunakan untuk menangkap karbon ditambah akan ada tambahan biaya operasional. Saat ini karena minimnya data, saya tidak bisa menghitung dengan pasti apakah premium pricing yang ada pada blue ammonia dapat meng-cover capex dan opex dari proses produksinya. Selain itu karena Indonesia adalah negara yang sudah menerapkan perdagangan karbon di akhir 2023 dengan didirikannya bursa karbon, seharusnya karbon yang ditangkap dari proses produksi blue ammonia ini juga bisa dijual dan menghasilkan revenue stream baru bagi ESSA. Let’s see

 

Struktur Pemegang Saham ESSA


Walaupun termasuk owner-operator company, tapi kok porsi saham publiknya mencapai 54,08% ya, setelah saya cari tahu di Laporan Tahunan 2024 ternyata isinya banyak investor kakap, salah tiganya ada Pak Patrick Walujo, Jonathan Chang dan Pieter Tianuri. Namun komposisinya agak berbeda karena selama 2024 beberapa investornya menambah porsi kepemilikan, sedangkan Laporan Tahunan 2025 belum keluar.


 

Analisis Keunggulan Bersaing

ESSA memiliki barrier of entry yang tinggi karena industri LPG dan amoniak membutukan investasi yang besar dalam infrastruktur, akses bahan baku, teknologi dan izin operasi. Pabrik Amoniak ESSA di Banggai, Sulawesi itu investasinya sebesar US$ 830 juta (sekitar lebih dari 13 triliun rupiah), ini belum termasuk biaya operasional dan infrastruktur pendukung. Ya, mungkin kalau masalah modal, konglomerat-konglomerat Indonesia bisa menyediakan, tapi masalah utamanya menurut saya adalah di ketersediaan bahan baku (gas alam), pemain baru harus mampu mendapatkan kontrak gas alam jangka panjang dari sumber yang terbatas, yang bisa jadi sudah dikuasai oleh pemain eksisting seperti ESSA. Karena apabila tidak, maka pasti akan kalah efisien dan pada akhirnya tidak bisa bersaing secara cost. Threat of new entrants saya menilainya cukup aman.


Secara daya tawar supplier, ESSA sangat bergantung pada pasokan gas alam sebagai bahan baku utama, dimana 100% di supply dari joint operation Pertamina – Medco Tomori Sulawesi. Daya tawar supplier berada dalam skala moderat karena barang yang dibeli sifatnya komoditas sehingga akan selalu mengikuti harga pasar ditambah kontrak ESSA dalam jangka panjang.


Dari perspektif daya tawar konsumen juga cenderung moderat karena ESSA hanya memiliki satu konsumen di bisnis amoniaknya yaitu Genesis Corporation (sister company). Sedangkan untuk bisnis LPG, konsumennya juga satu yaitu Pertamina. Produk ESSA tidak memiliki banyak diferensiasi, sehingga jika harga lebih mahal dari kompetitor, konsumen mungkin bisa beralih terutama untuk bisnis LPG-nya. Sedangkan untuk bisnis amoniaknya cenderung aman karena diambil oleh sister company-nya sendiri.


Ancaman dari produk substitusi cenderung aman secara amoniak tidak memiliki substitusi yang benar-benar reliable. Kegunaannya saat in 80%-85% sebagai bahan dasar pupuk NPK sebagai unsur “N”-nya (Nitrogen). Sedangkan di Jepang yang menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama Genesis Corporation, amoniak digunakan di industri kimia sebesar sekitar 50-60%, sisanya digunakan sebagai bahan bakar rendah karbon. Ini juga salah satu yang merupakan keunggulan dari ESSA, karena ESSA sudah memiliki fasilitas untuk memproduksi blue ammonia. Sedangkan untuk produk LPG, ada beberapa produk substitusi yang menjadi ancaman yaitu LNG (terutama untuk industri non-rumah tangga) dan Dimetyl Ether (DME) yang lebih ramah lingkungan dibandingkan LPG namun secara biaya produksi saat ini masih lebih mahal daripada LPG. DME ini termasuk salah satu hilirisasi batubara yang sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo di awal masa pemerintahannya.


Persaingan di industri ESSA relatif aman, secara pasokan LPG selama ini pemain besarnya adalah pertamina sedangkan ESSA memasok hanya ke pertamina. Untuk amoniak juga tidak ada persaingan karena sudah terikat kontrak berapapun produksi amoniak ESSA akan selalu diserap oleh Genesis Corporation.

 

Analisis Kuantitatif

Saya tidak menemukan hal-hal yang bersifat red flag di laporan keuangan ESSA. So far so good. Biasanya saya lebih suka membahas yang aneh-aneh atau yang buruk-buruk di bagian ini, namun untuk ESSA ini saya tidak menemukan hal itu. Mungkin dari teman-teman apabila ada yang menemukan boleh komen di artikel ini atau menghubungi saya, mungkin saja saya kurang teliti.

 

ESSA Adalah Perusahaan Cyclical

Amonia dan LPG adalah produk komoditas yang harganya sangat bergantung pada harga gas alam. Harga jual amoniak mengikuti harga pasar global, sementara LPG juga mengikuti regulasi dan dinamika pasar energi di Indonesia. Oleh karena itu bisa dikatakan ESSA ini adalah perusahaan cyclical dan bersifat price taker karena tidak bisa menentukan sendiri harga jual produknya.


Namun menganalisis kapan waktu entry ESSA ini tidak semudah di perusahaan cyclicals lainnya seperti batubara karena di ESSA ini ada 2 harga komoditas yang mempengaruhi labanya yaitu harga gas alam dan harga amoniak.

 

Kapan Waktu Yang Tepat Membeli ESSA?

Perhatikan grafik di bawah ini yang menunjukkan korelasi laba ESSA dengan harga amoniak global:

Karena ESSA ini termasuk perusahaan cyclicals yang pendapatannya berkorelasi dengan harga amoniak global, maka sebaiknya menunggu saat harga amoniak global berada di level rendah. Misalnya di tahun 2020 saat harga amoniak di bawah 300 US$ per ton, namun pertanyaannya kapan hal itu terjadi dan apakah akan terjadi lagi di masa depan? Tidak ada yang tahu.


Pandangan yang saya miliki, harga amoniak ini akan menemukan titik equilibrium baru yang sangat kecil kemungkinan bisa jatuh hingga di bawah 300$ per ton. Hal ini disebabkan karena mulai dikembangkannya blue & green ammonia yang menaikkan harga jualnya sejalan dengan semangat ESG, selain itu dulu penggunaan amoniak di dominasi oleh sektor pupuk (85%) dan saat ini penggunaannya mulai meluas ke sektor pembangkit tenaga listrik dan bahan bakar.


ESSA saat ini dijual di harga Rp. 600 per lembar saham, P/E 14,16x, asumsi all else being equal, jika amoniak turun ke 500 US$ per metrik ton, maka P/E-nya menjadi sekitar 20x. Sedangkan per maret 2025 ini harga amoniak berada di level 470$ per ton alias lebih rendah dari 2024, lebih baik wait & see dulu.

 

Thanks for reading…