Negara Republik Indonesia menurut saya adalah superpower dalam urusan kelapa sawit. Sejak tahun 2006 hingga saat ini, Indonesia adalah pemasok terbesar dunia dalam urusan minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO) yang hingga hari ini memasok sekitar 60% lebih kebutuhan minyak nabati dunia, no.2 setelah Indonesia adalah Malaysia yang memasok sekitar 25%. Jadi dari Indonesia dan Malaysia saja sudah memenuhi 85% kebutuhan CPO dunia. Sisanya dipenuhi oleh Thailand, Kolombia, dan negara-negara tropis lainnya. Minyak Nabati dari CPO ini sebenarnya ada produk substitusinya yaitu soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil, namun dari semua itu tidak ada yang seefisien CPO dalam urusan produksi volume / hektar tanah yang ditanami per tahun. Kelapa sawit hanya menggunakan 6% luas total lahan pertanian di dunia namun mampu menghasilkan 33% dari total kebutuhan minyak nabati di dunia dengan produktivitas 7-10 kali/ha/tahun lebih banyak dibandingkan minyak nabati lainnya. Berikut perbandingannya:
Walaupun Indonesia saat ini memegang market share terbesar untuk produsen CPO namun sebenarnya produktivitas CPO per hektar Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Malaysia. Indonesia menang secara total produksi karena lahan yang jauh lebih luas dari Malaysia. Secara indeks juga masih menggunakan mata uang Ringgit Malaysia. Hal ini disebabkan karena memang Malaysia sebelum tahun 2006 merupakan market share no 1 CPO dunia sebelum disalip dan digantikan oleh Indonesia hingga saat ini.
Kilas Balik Perkembangan Indonesia Hingga Menjadi Superpower Sawit
- Pengenalan awal kelapa sawit di tahun 1848 oleh colonial Belanda yang membawa bibit dari Afrika Barat. Awalnya hanya sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor.
- Mulainya Perkebunan komersial di tahun 1911 oleh Belanda di Deli, Sumatera Utara. Komoditas ini mulai berkembang pesat terutama setelah Perang Dunia II, ketika CPO diakui sebagai bahan baku alternatif untuk minyak kelapa, yang saat itu mengalami pasokan yang tidak stabil.
- Kebijakan ekspansi di Era Orde Baru (1967 – 1988). Pada era Presiden Soeharto, perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan secara besar-besaran sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan ekonomi melalui komoditas ekspor. Pemerintah saat itu juga mendukung dengan memberikan insentif kepada perusahaan, termasuk akses lahan murah, pembiayaan, dan kebijakan yang mengizinkan ekspansi di daerah terpencil. Akibatnya pada masa ini banyak hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit, yang juga mengundang perusahaan-perusahaan multinasional untuk berinvestasi di sektor ini.
- Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Perkebunan Swadaya (1980-an). Di tahun ini pemerintah meluncurkan program PIR yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal dalam industri kelapa sawit dengan model inti-plasma, di mana perusahaan perkebunan besar berperan sebagai “inti” dan petani rakyat sebagai “plasma”. Program ini tujuannya untuk membantu meningkatkan pendapatan petani kecil dan memperluas perkebunan sawit hingga ke daerah-daerah terpencil di Indonesia.
- Krisis Ekonomi Asia dan Percepatan Ekspansi (1997-1998). Pada masa ini, rupiah mengalami penurunan nilai yang tajam terhadap dolar Amerika, yang membuat ekspor sawit menjadi sangat menguntungkan karena perusahaan besar kelapa sawit dibayar menggunakan dolar Amerika saat ekspor CPO. Akibatnya ekspansi masif perkebunan kelapa sawit, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Pemerintah juga mempermudah izin perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dari sektor ekspor CPO ini.
- Percepatan produksi di awal 2000-an karena permintaan global untuk CPO melonjak, terutama dari negara-negara seperti India, China dan Eropa. CPO digunakan secara luas dalam industri pangan, kosmetik, serta sebagai bahan baku biofuel. Hal ini menciptakan pasar yang sangat besar dan stabil bagi Indonesia. Pemerintah mendukung perkembangan ini dengan menetapkan berbagai kebijakan seperti revitalisasi perkebunan dan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang meningkatkan produktivitas.
- Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia pada tahun 2006 dengan berhasil melampaui Malaysia. Keberhasilan ini didorong oleh besarnya lahan yang dikonversi menjadi perkebunan sawit dan adopsi teknologi pertanian modern yang meningkatkan produktivitas.
- Tantangan lingkungan dan penerapan Moratorium (2011 – saat ini). Pertumbuhan pesat industri sawit di Indonesia juga menimbulkan berbagai masalah lingkungan, termasuk deforestasi, kebakaran hutan, serta emisi karbon yang tinggi dari lahan gambut. Untuk menanggapi kritik internasional, pemerintah memberlakukan moratorium sawit pada 2011 yang menghentikan izin baru di lahan hutan primer dan lahan gambut. Pemerintah juga mendukung sertifikasi CPO berkelanjutan (RSPO dan ISPO) untuk meningkatkan keberlanjutan industri sawit Indonesia.
- Era Keberlanjutan dan Peningkatan Nilai Tambah (2024 – seterusnya). Saat ini, Indonesia tidak hanya berfokus pada produksi minyak sawit mentah, tetapi juga mulai meningkatkan produk olahan sawit dengan nilai tambah lebih tinggi seperti oleokimia, biodiesel, dan berbagai produk turunan lainnya. Pemerintah mendukung penggunaan biodiesel berbahan baku minyak sawit melalui kebijakan B30 dan rencana pengembangan B40, yang membantu meningkatkan permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan pada pasar internasional.
Dengan permintaan global yang terus meningkat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mempertahankan posisinya sebagai produsen sawit utama dunia, asal keberlanjutan ini terus dijaga.
Apa Itu Moratorium Sawit?
Moratorium sawit adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara pemberian izin untuk perkebunan kelapa sawit di lahan hutan primer dan lahan gambut. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi, melindungi ekosistem hutan yang tersisa, dan mengatasi masalah lingkungan seperti emisi karbon yang tinggi akibat pembukaan lahan gambut. Fungsi lain dari moratorium sawit ini adalah untuk mengatasi permasalahan tata kelola lahan dan memperbaiki transparasi serta keberlanjutan di sektor ini.
Moratorium pertama diberlakukan pada tahun 2011 dengan dukungan pemerintah Norwegia dalam kerangka letter of intent (LoI) yang ditandatangani sebagai bagian dari skema reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+). Moratorium pertama ini berlaku selama 2 tahun dan setelahnya kebijakan ini diperpanjang beberapa kali hingga tahun 2019.
Di tahun 2019 tepatnya pada tanggal 19 September 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No 8. Tahun 2018, yang mengubah moratorium sementara sebelumnya menjadi kebijakan yang bersifat permanen. Inpres ini memberikan arahan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam tata kelola sawit, termasuk memetakan perkebunan yang ada, memperbaiki sistem perizinan, meningkatkan produktivitas sawit di lahan yang sudah ada (intensifikasi pertanian), serta menjaga keberlanjutan lingkungan. Singkat cerita moratorium permanen ini melarang pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit (ekstensifikasi pertanian) di lahan hutan primer dan lahan gambut, serta mencakup tindakan penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran.
Dampaknya saat ini moratorium sawit ini telah berhasil mengurangi laju deforestasi secara signifikan dan memberikan dampak positif pada lingkungan. Perusahaan perkebunan besar kelapa sawit saat ini lebih fokus meningkatkan produksi melalui intensifikasi pertanian dengan memaksimalkan produktivitas per hektar lahan yang sudah ada dibandingkan seperti sebelum ada moratorium yang fokusnya memperluas lahan sawit untuk meningkatkan volume produksinya.
Kementerian Pertanian Dorong Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Dengan Semakin Tingginya Campuran CPO Dalam Biodiesel
Dahulu Indonesia fokus melakukan ekspor CPO karena industri dalam negeri belum terlalu banyak mengolah CPO untuk kebutuhan sendiri. Namun sejak adanya mandatori B2.5 dan B5 di sekitar tahun 2008-2010, mandatori B10 dan B15 di tahun 2013-2015, mandatori B20 dan pemanfaatan skala nasional di tahun 2016-2018, mandatori B30 dan transisi B40 di tahun 2019 hingga sekarang, hingga rencana B50 di beberapa tahun mendatang, maka penggunaan sawit dalam negeri akan meningkat secara signifikan sedangkan luas lahan sawit sudah sedemikian dibatasi dengan peraturan moratorium permanen.
Thanks for reading...