Disclaimer: Saya tidak sedang membahas Agama tertentu dalam artikel ini! Mohon maaf apabila ada perkataan atau kalimat yang menyinggung...
Sifat dasar dari Agama (Religion) adalah bahwa orang yang beriman cenderung akan melakukan “Leap Of Faith” terhadapnya. Konsep Leap of Faith sendiri diperkenalkan oleh Soren Kierkegaard (seorang filsuf abad ke – 19) yang menjelaskan tentang lompatan kepercayaan yang diperlukan seseorang dalam beriman kepada Tuhan, terutama ketika seseorang menghadapi ketidakpastian yang ekstrim dan sekaligus tidak dapat membuktikan keyakinan tersebut secara rasional. Fokus dari artikel ini adalah tentang sifat “Leap Of Faith” yang seringkali kita temukan di hal-hal diluar Agama misalnya di pasar saham.
Apa itu “Religion Stocks”?
Mungkin Anda menyadari ada beberapa saham yang dikategorikan sebagai “Religion Stocks”. Butuh waktu yang panjang bagi sebuah perusahaan untuk meningkatkan reputasinya sehingga memiliki basis pemegang saham/calon pemegang saham yang “beriman” terhadapnya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki karakteristik tertentu seperti kualitas yang luar biasa tinggi, reputasi baik dan memiliki track record panjang yang juga baik. Kinerja harga sahamnya juga harus membuat banyak pemegang sahamnya happy dalam jangka waktu yang panjang untuk membentuk ikatan psikologis ini.
Lebih lanjut, kekuatan “Religion Stocks” ini diperkuat dengan testimoni, kisah, cerita, media, dll tentang investor yang menjadi miliarder karena memiliki saham tersebut. Sedikit demi sedikit, kesuksesan perusahaan di masa lalu berubah menjadi suatu kebenaran absolut dan mungkin abadi…
Hal ini menimbulkan Extrapolation Bias (menganggap kesuksesan masa lalu akan berlanjut terus di masa depan) seperti kita menggunakan kaca spion untuk memperkirakan apa yang ada di depan. Lalu bagaimana mengenali ciri-ciri “Religion Stocks”? Berdasarkan pengalaman saya ada beberapa hal yang bisa kita perhatikan.
- Banyak investornya sudah berlaku bagaikan Cheerleader terhadap perusahaan itu
- Manajemennya dipuji-puji sebagai orang yang visioner secara luas
- Saham tersebut di harga berapa pun di “BUY” oleh investor
- Banyak orang yang dulunya pesimis menjadi percaya terhadap saham tersebut
Mungkin Anda punya pengalaman lain? Mohon tuliskan di kolom komentar supaya bisa menjadi diskusi dan masukan.
Bagaimana Sikap Para Pelaku Pasar Modal Terhadap “Religion Stocks”?
Begitu suatu saham naik status menjadi “Religion Stocks”, maka berhati-hatilah karena logika sudah tidak berlaku lagi. Berdasarkan pengalaman dan obrolan saya dengan teman-teman analis saham, mereka bahkan berani melakukan valuasi menggunakan DCF tapi menggunakan rate obligasi jangka panjang pemerintah untuk mendiskontokan arus kasnya, semata-mata untuk membenarkan penilaian yang luar biasa. Mereka bahkan berpendapat, “Mengapa harus menggunakan tingkat diskonto lain jika tidak ada risiko?”. Value Investing tidak bekerja di “Religion Stocks”!
Lebih lanjut, seorang ayah akan membeli saham tersebut dan berpikiran tidak menjualnya sehingga bisa diturunkan ke anaknya di kemudian hari, seorang suami yang sudah sekarat berpesan kepada istri dan anaknya agar jangan pernah menjual saham ____ (coba sebutkan 4 huruf kode saham yang menurut Anda termasuk “Religion Stocks”), setiap kali ada masalah atau fakta yang buruk yang menimpa perusahaan itu akan dengan cepat ditepis dengan komentar bahwa “perusahaan tidak akan bangkrut”. Contoh paling dekat yang bisa saya berikan seperti di suatu perusahaan rokok dengan Strong Brands Name, bertahun-tahun harganya menurun secara signifikan tapi para investornya mengatakan “Orang Indonesia itu makan tidak makan yang penting rokokan”. Mereka lupa membedakan antara perusahaan bagus dengan investasi (saham) yang bagus.
Bagaimana Seorang Value Investor Menyikapi “Religion Stocks”?
“Since the profits that companies can earn are finite, the price that investors should be willing to pay for stocks must also be finite” ~ Benjamin Graham.
Tidak ada perusahaan yang bisa bertumbuh dengan cepat selamanya. Pada akhirnya pertumbuhan pendapatan dan penjualan di suatu titik akan melambat. Misalnya di saham US yang termasuk kategori ini menurut saya adalah saham Coca Cola yang terkenal itu.
Di Indonesia, PT. Unilever Indonesia, Tbk (UNVR) adalah salah satu contoh yang menurut saya termasuk “Religion Stocks”. Brands-nya kelas internasional, kinerjanya konsisten dalam jangka waktu yang lama, ROE-nya tembus 100% (perusahaan hampir tidak membutuhkan modal untuk menjalankan bisnisnya), dividen rutin 2 kali dalam satu tahun, sulit rasanya untuk tidak mengagumi perusahaan ini. Ditambah manajemennya tingkat atas, no/almost zero debt, arus kas yang besar. Kekaguman ini harus dibayar mahal: UNVR mencapai P/E 60x lebih pada 2017 akhir. P/E tersebut adalah 3x P/E market saat itu. Satu-satunya alasan yang bisa membenarkan UNVR agar dapat dibeli di P/E 60x adalah JIKA UNVR mampu menumbuhkan labanya setidaknya 60% secara konsisten di tahun-tahun kedepan.
Pada waktu kinerja UNVR mulai terlihat ada penurunan di 2017 yang sekaligus harganya saat pada puncaknya, banyak teman-teman dan orang disekitar saya berpendapat “UNVR kan perusahaan bagus”, “Coba masuk ke kamar mandi setiap orang di Indonesia pasti ada produk UNVR”, “Makin turun makin akum”. Coba perhatikan tabel kinerja laba UNVR beserta harga sahamnya di bawah ini:
Mengapa saya menggunakan laba kotor? Simple, karena laba kotor adalah revenue - COGS tanpa ada pengaruh-pengaruh yang "kotor" seperti untung/rugi jual beli aset, kurs, klaim asuransi dan one-time gain/loss lainnya yang ada dalam laba bersih yang bukan cerminan dari kinerja operasional inti dari perusahaan.
Jika Anda seorang investor UNVR dari 15-20 tahun lalu, tapi Anda orang yang sangat memahami secara detail perusahaan UNVR, Apa yang Anda lakukan? Tetap hold? beranggapan modal investasi awal Anda sudah "gratis" dari dividennya selama itu sehingga tinggal terima dividennya di masa depan terus? atau sudah menjualnya pada saat Anda mengetahui ada penurunan kualitas terutama ketika Anda seorang investor yang rajin dan selalu dapat menemukan peluang-peluang berinvestasi di saham-saham baru yang lebih potensial?
Pertumbuhan pendapatan dan penjualan pada akhirnya melambat. Hal ini menyebabkan deflasi bertahap terhadap premium dari status “Religion Stocks”. Bagi UNVR, penurunan status “Religion” ini menyebabkan penurunan harga saham lebih dari 84% dari puncaknya di 2017 hingga Q3 2024 saat ini dibandingkan kenaikan 238% dalam kurun waktu yang sama sebelumnya.
Penutup
Perlu waktu yang lama dan opportunity cost yang sangat mahal apabila seorang investor terpapar “Religion Stocks” karena iman adalah emosi yang sangat kuat dan berpindah dari iman menimbulkan perasaan yang sangat “sakit” sehingga bisa membuat orang frustasi. Kekecewaan bisa mengikis iman dari hari ke hari. “Religion Stocks” bukanlah saham yang aman. Leap of Faith menyebabkan risikonya tersembunyi karena tidak pernah muncul di masa lalu. Risiko yang demikian adalah "Black Swan" bagi yang tidak siap. Istilah "Black Swan" diperkenalkan oleh salah satu pemikir favorit saya Nassim Nicholas Taleb yang definisinya secara simple adalah sebuah peristiwa langka, sulit diprediksi, berdampak besar diluar perkiraan biasa.
Namun, risiko tersembunyi ini unik karena yang menjadi pertanyaan bukan “apakah akan muncul?” melainkan “kapan?”. Hampir tidak mungkin untuk memprediksi seberapa besar kenaikan/kegilaan terhadap suatu saham sebelum akhirnya turun (pada akhirnya akan turun). Investor yang tidak waspada akan menghadapi kerugian besar terhadap portfolionya. Emosi sudah seharusnya tidak memiliki tempat dalam berinvestasi.
Thanks for reading…
Reference: https://investor.fm/the-hidden-risk-in-religion-stocks-2/