Setiap tahun jutaan umat Muslim dari seluruh dunia berkumpul di tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ini adalah pengalaman spiritual yang paling berkesan dalam hidup seorang Muslim. Di artikel kali ini saya bukan mau berbicara tentang agama, fokus saya adalah tentang kepanikan masal yang timbul ketika banyak orang berkumpul di satu tempat.
Salah satunya yaitu terjadi pada tahun 2015 silam di Mina, Arab Saudi, ketika jutaan jamaah sedang melaksanakan prosesi lempar jumrah. Di jalanan yang padat, tiba-tiba kepadatan berubah menjadi dorong-dorongan dan desakan. Hanya dibutuhkan sedikit teriakan, atau kabar simpang siur untuk membuat massa kehilangan kendali. Dalam hitungan menit, kerumunan yang semula berjalan tertib berubah menjadi lautan manusia yang panik. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana cerita atau penyebab awal terjadinya kekacauan itu, hanya ada dugaan-dugaan seperti kurangnya kedisiplinan jamaah dan pertemuan antara 2 kloter jamaah di waktu yang kurang tepat.
Izinkan saya berimajinasi sedikit untuk masuk ke topik intinya. Bagaimana jika seandainya tragedi itu bermula ketika ada seorang jamaah yang terjatuh dan karena saking banyaknya manusia disitu, jamaah tersebut tidak sengaja terinjak-injak hingga tewas. Karena ada orang yang tewas itu, maka orang-orang yang ada disekitarnya mulai panik dan berteriak ketakutan minta tolong. Teriakan itu mempengaruhi para jamaah lainnya dan otak manusia - by nature, di desain akan mengintepretasikan teriakan-teriakan itu sebagai sumber bahaya. Tentu tindakan reflek manusia ketika ada bahaya adalah akan menyelamatkan diri masing-masing, ada yang menangis, lari menjauh, memanjat ke tempat lebih tinggi, tidak peduli siapa yang dipijak pokoknya yang penting selamat dulu – cerita yang terakhir ini saya baca sumbernya dari sini:
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150925_dunia_kesaksian_mina.
BBC menulis bahwa lebih dari 700 orang tewas dan lebih dari 800 terluka terhimpit dan terinjak-injak. Ironisnya, tidak ada bencana alam, tidak ada gempa bumi, tidak ada bangunan runtuh, tidak ada apa-apa. Yang membunuh adalah kepanikan itu sendiri.
Mengendalikan perilaku Anda di tengah ketidakpastian itu sudah cukup sulit. Mengendalikan reaksi terhadap perilaku orang lain jauh lebih sulit lagi. Rasa takut lebih cepat menular dibandingkan rasa bahagia, dan dapat seketika mendorong orang untuk bereaksi tidak rasional. Fenomena seperti ini memperlihatkan bahwa ketika ketakutan menyebar ditengah kerumunan, maka logika individu hilang dan digantikan oleh insting kolektif. Orang tidak lagi berpikir apa yang sebenarnya terjadi, melainkan hanya meniru apa yang dilakukan orang di sekitarnya, Satu orang memanjat, maka semua akan ikut memanjat, satu orang berlari yang lainnya ikut berlari.
Hal yang sama yang mendasari kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret 2023 silam, kejadian yang sepertinya sulit terjadi di bank besar lainnya di Amerika – setidaknya dengan kecepatan seperti yang terjadi di SVB. Karena hampir semua profil nasabah pemegang rekeningnya berada dalam kelompok sosial yang sama, tinggal di lingkungan yang sama, tergabung dalam grup WA yang sama, bekerja di perusahaan yang sama, berinvestasi di start-up yang sama, dll. Ketika terjadi sesuatu yang buruk di SVB – masalah likuiditas karena portofolio investasinya merugi dan suku bunga The Fed naik, salah satu nasabahnya berteriak keras sambil melakukan penarikan dana, teriakan itu langsung didengar nasabah lainnya dan $42 miliar pun lari keluar dari brankas SVB dalam sekejap, bank rush terjadi.
Jika saya tarik ke dunia pasar saham, pola yang sama sangat sering terlihat. Harga saham dalam jangka pendek seringkali naik-turun hanya karena aksi massa. Terutama jika sedang terjadi panic buying atau panic selling. Fenomena ini dikenal dengan sebutan emotional contagion – penularan emosi. Sama seperti tawa bisa menular, rasa takut juga bisa menular dengan cepat, apalagi di era digital sekarang ketika informasi bergerak lebih cepat daripada fakta. Hanya butuh satu rumor di grup WA atau cuitan viral di X (Twitter) untuk menggerakkan miliaran rupiah keluar atau masuk ke saham tertentu.
Masalahnya, sebagian besar orang tidak merasa dirinya sedang tertular. Ketika kepanikan terjadi, orang tidak bisa bertindak independent. Seperti kata professor dari Yale University, Robert Shiller, “Anda harus menyadari, pikiran Anda sebenarnya bukan benar-benar pikiran Anda sendiri. Ada yang merembes masuk dari tempat lain dan dari orang lain.”
Mohnish Pabrai dalam “10 Commandments of Investment Management”, perintah yang ke-2 adalah “Thou Shalt Not Have an Investment Team”. Pabrai pernah menulis surat kepada Warren Buffet dan menawarkan untuk bekerja kepadanya secara gratis, namun Buffet menolaknya. Buffet menjawab bahwa selama bertahun-tahun ia sampai pada kesimpulan bahwa ia bekerja lebih baik sendirian daripada dalam sebuah tim. Dari situ Pabrai mengatakan, tim investasi yang besar yang terdiri dari manajer portofolio dan tim analis hanya akan membuat prosesnya menjadi lebih mahal dan rumit. Hal ini relate dengan emotional contagion di atas, makin banyak orang dalam tim investasi makin berisiko saling terpapar kepanikan yang tidak rasional.
Dalam perjalanan saya sendiri sebagai manajer portofolio juga merasakan hal yang sama, saya tidak suka melakukan analisis bisnis bersama orang lain bahkan orang terdekat sekalipun, saya lebih nyaman melakukan analisis sendirian. Kebutuhan saya terhadap orang lain adalah ketika saya ingin mengetahui hal-hal teknis di sebuah industri untuk kebutuhan analisis investasi, barulah saya mencari orang lain untuk ngobrol dan berdiskusi, namun sifatnya hanya menggali informasi dan mencari data atau fakta saja, setelahnya keputusan investasi atau tidaknya harus bersifat independen. Saya juga cenderung menghindari forum saham, grup saham, kecuali grup yang saya buat sendiri dan isinya hanya circle dekat saya beberapa gelintir orang saja. Bahkan saya seringkali terganggu dengan teman-teman saya yang suka memberikan informasi yang sebagian besar sebenarnya saya sudah tahu – karena memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari saya mengikuti perkembangan bisnis bermacam-macam perusahaan. Saya tahu maksudnya baik, mereka ingin berbagi informasi, namun seringkali informasi itu diberi narasi macam-macam yang sifatnya akan terjadi di masa depan. “Saham X akan diakuisisi Grup Y, dan sejenisnya.”
Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari artikel kali ini adalah bahwa ketika Anda menyadari betapa rentannya kita terhadap emosi orang lain, Anda akan lebih bijaksana dalam memilih siapa yang ada di sekitar Anda. Siapa yang Anda ikuti di media sosial? Siapa yang jadi panutan investasi Anda? Siapa yang mempengaruhi keputusan Anda? Lingkungan informasi yang salah bisa membuat kita melakukan tindakan-tindakan yang juga salah.
Thanks for reading…