Saya sering menerima pertanyaan seperti ini, “Ko, lebih baik berinvestasi di saham atau obligasi?” Sebelum saya menjawabnya, setidaknya teman-teman tahu dulu apa itu saham dan obligasi.
Saham adalah bukti sebagian kepemilikan atas sebuah perusahaan/bisnis.
Obligasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh penerbit obligasi. Penerbit obligasi ini bisa negara/pemerintah atau perusahaan.
Sebelum membaca lebih lanjut, ada baiknya jika Anda belum paham untuk membaca ulang definisi sederhana saham dan obligasi di atas.
Setelah Anda betul-betul memahami apa itu saham dan obligasi, maka ketika Anda memiliki salah satunya artinya adalah sebagai berikut:
Jika Anda adalah pemegang saham, maka Anda:
- Memiliki sebagian dari perusahaan/bisnis
- Anda berhak atas keuntungan setiap kali manajemen memutuskan untuk membagikannya (dividen) melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
- Anda tidak dijanjikan apapun sebagai pemegang saham.
- Pajak transaksi saham adalah 0,1% saat menjual saham dan 10% final atas dividen (0% untuk dividen jika di reinvestasikan selama 3 tahun). Pajak ini bisa di leverage karena dibayarkannya pada saat kita menjual saham atau dengan kata lain tidak perlu dibayar selama saham yang kita miliki tidak dijual.
Jika Anda adalah pembeli obligasi perusahaan/negara, maka Anda:
- Kreditur terhadap perusahaan dan/atau negara tergantung obligasi milik siapa yang Anda beli.
- Anda berhak untuk dibayar, tidak peduli apakah perusahaan menghasilkan laba atau tidak dalam bentuk kupon obligasi. Namun, jika perusahaan mengalami pailit (default), tentu saja pembayaran kupon Anda akan terkendala. Jadi pembeli obligasi yang bijaksana akan terlebih dahulu memeriksa tidak hanya berapa kuponnya, tapi juga kemampuan perusahaan penerbit untuk memenuhi janjinya.
- Jika yang Anda beli adalah obligasi negara, biasanya cenderung aman dari default, karena negara dapat mencetak lebih banyak uang untuk membayar kupon obligasi Anda. Oleh karena itu, obligasi negara seringkali disebut sebagai “risk free”, walaupun sebenarnya dalam jangka panjang hal ini bisa menyebabkan inflasi yang tinggi jika terlalu banyak mencetak uang.
- Dari sisi pajak, kupon obligasi dikenai pajak final sebesar 10% (untuk obligasi negara) dan 15% (untuk obligasi perusahaan). Pajak tersebut tidak bisa di leverage karena akan langsung dipotongkan ke kupon yang dibayarkan secara rutin.
Tidak peduli seberapa besar laba yang bisa dihasilkan perusahaan, yang diterima sebagai pemegang obligasi hanyalah bunga (kupon) yang sudah dijanjikan di awal dan pelunasan pokoknya saat jatuh tempo (mature). Oleh karena pemegang obligasi tidak dapat ikut menikmati kejayaan/kemakmuran perusahaan, maka sungguh bodoh jika Ia mengambil risiko ikut menderita dalam kesulitan yang dialami penerbit obligasi. Perusahaan yang fundamentalnya lemah sering kali menggoda para pembeli obligasi yang lengah atau tidak paham yang hanya berfokus dengan imbal hasil kuponnya saja. Mereka akan menawarkan obligasi dengan tingkat bunga yang lebih tinggi daripada obligasi yang berkualitas baik.
Berdasarkan apa yang saya ketahui, jika kita ingin membeli obligasi perusahaan, lebih baik memilih obligasi yang terbaik atau yang terburuk dan hindarilah yang kualitasnya menengah.
Kedengarannya mungkin seperti tidak masuk akal – mengapa kita harus membeli yang terburuk? Kalau yang terbaik sih tentu saja masuk akal. Obligasi terbaik diterbitkan oleh perusahaan dengan kemampulabaan yang kuat atau bahkan sangat kuat dengan didukung oleh aset yang juga berkualitas baik sehingga gagal bayar (default) hampir tidak mungkin terjadi. Sedangkan obligasi terburuk, tentu saja, adalah obligasi yang statusnya sudah gagal bayar. Seringkali, obligasi gagal bayar akan diberikan atau dijanjikan sebagian besar kepemilikan perusahaan dalam proses restrukturisasi. Jadi ketika Anda membeli obligasi yang gagal bayar, sebenarnya Anda membeli sesuatu yang Anda harapkan dan perkirakan akan menjadi ekuitas dalam perusahaan yang sedang di restrukturisasi. Dengan kata lain, Anda sebenarnya sedang membeli “saham” yang disebut obligasi dengan harga murah untuk “saham” tersebut.
Obligasi yang gagal bayar ibarat “yang terburuk sudah terjadi”, mungkin akan tetap dalam keadaan gagal bayar selama bertahun-tahun menunggu restrukturisasi, atau mungkin saja perusahaan penerbitnya dilikuidasi, tetapi pemegang obligasi yang gagal bayar tidak perlu khawatir ada kabar yang lebih buruk lagi. Sehingga ini adalah spekulasi hampir tanpa risiko dengan peluang besar untuk apresiasi nilai di masa depan. Mindset ini sama dengan saat kita berinvestasi di turnaround company (distressed investing). Namun, jenis peluang obligasi seperti ini langka dan sebaiknya Anda tidak menyentuh area ini jika tidak benar-benar mendalami.
OBLIGASI KONVERSI
Ada juga jenis obligasi yang disebut dengan obligasi konversi (convertible bond) yaitu obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham di kemudian hari. Secara teori, investor bisa mendapat kupon tetap sekaligus memiliki peluang untuk ikut dalam kenaikan harga saham. Namun dalam praktiknya, potensi kenaikan saham lebih besar diterima oleh pemegang saham biasa, bukan oleh pemegang obligasi konversi dan jika harga saham jatuh, nilai obligasi konversi sering turun lebih dalam dibanding obligasi biasa. Oleh karena itu, obligasi konversi biasanya lebih cocok untuk investor institusi yang memiliki kepentingan langsung terhadap perusahaan yang menerbitkannya dibandingkan investor individu atau institusi yang memiliki keterbatasan dalam berinvestasi saham secara langsung karena suatu hal.
Bagi investor individu, obligasi konversi terkadang memungkinkan mereka menghindari keputusan apakah akan membeli saham atau obligasi biasa. Sehingga bisa dikatakan obligasi konversi ini posisinya ada ditengah antara berinvestasi saham atau obligasi perusahaan. Namun, seringkali jalan tengah dengan membeli obligasi konversi ini memiliki opportunity cost yang lebih besar dibandingkan dengan hasil yang bisa dicapai melalui keputusan yang tepat dengan membeli saham saja atau obligasi biasa saja.
Mengapa orang cenderung lebih suka membeli obligasi ketika sedang dilanda inflasi tinggi?
Jawabannya adalah karena tingkat imbal hasil kupon obligasi sebenarnya adalah hasil dari supply dan demand. Secara teori, kupon obligasi mencerminkan dua hal:
- Nilai “sewa” uang (rental value of money), dan
- Ekspektasi inflasi (penurunan daya beli uang)
Pemberi pinjaman membebankan, dan peminjam membayar, kupon obligasi mencerminkan nilai “sewa” uang dan juga penurunan daya beli yang diantisipasi. Jika nilai sewa uang adalah 3% dan inflasi diperkirakan akan berlanjut sebesar 3% per tahun, maka tingkat kupon obligasi akan sekitar 6%. Ketika obligasi dengan kualitas tinggi memberikan hasil yang menutupi baik nilai sewa uang maupun tingkat inflasi yang diharapkan, pembeli akan mendapatkan keuntungan jika tingkat inflasi riil ternyata lebih rendah dari yang diperkirakan.
Jika inflasi tinggi, imbal hasil obligasi juga akan naik - seperti yang terlihat saat BI menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi, membuat yield obligasi pemerintah 10 tahun melonjak ke atas 7%.
Namun, investor juga harus waspada ketika inflasi menurun, maka harga obligasi naik. Artinya, obligasi juga bisa memberikan capital gain, meskipun tidak sebesar saham. Sebaliknya jika inflasi meningkat lebih tinggi dari yang diperkirakan, nilai riil kupon obligasi Anda akan tergerus.
Misalnya jika ada obligasi jangka panjang dengan kupon 6% yang jatuh tempo dalam dua puluh tahun dijual pada nilai pari 1 juta, ketika tingkat yield rata-rata 6%. Jika yield rata-rata naik menjadi 8%, obligasi yang sama akan dijual sekitar 800 ribu per obligasi, di mana pembeli akan mendapatkan hasil saat ni sebesar 7,5% dan hasil hingga jatuh tempo sedikit di atas 8%. Hasil hingga jatuh tempo ini dihitung dengan memperhitungkan nilai kini dari 200 ribu tambahan yang akan diterima dua puluh tahun kemudian karena ketika jatuh tempo, pembeli obligasi bukan menerima 800 ribu melainkan nilai nominal obligasi awalnya yaitu 1 juta.
Jika ternyata dalam 5 tahun ke depan tingkat yield obligasi turun menjadi 4%, maka obligasi 6% yang sebelumnya dijual di harga 800 ribu, diharapkan dapat dijual di harga 1.2 juta rupiah, kenaikan harga lebih dari 50%.
Ada satu hal lain yang perlu diperhatikan dalam membeli obligasi yaitu “call protection.” Perusahaan yang menerbitkan obligasi tentu berusaha mendapatkan keuntungan dari penerbitan itu. Maka mereka bisa saja menawarkan obligasi dengan bunga tinggi supaya atraktif bagi pembeli, namun mereka juga menyimpan hak untuk melunasi obligasi dan menerbitkan yang baru jika tingkat bunga turun. Misalnya jika Anda memiliki obligasi dengan bunga 9% yang jatuh tempo 10 tahun kemudian, tetapi jika obligasi itu memiliki opsi “callable” dalam 3 tahun, jangan berharap lebih lama dari itu. Karena jika yield rata-rata obligasi turun dari 9% misalnya menjadi 6%, bukan hal yang mustahil obligasi 9% Anda akan dilunasi, dan Anda harus menanaman kembali uang tersebut pada tingkat bunga yang berlaku saat itu yaitu 6%. Inilah yang disebut obligasi dengan callable bond atau obligasi dengan call protection.
Aturan umum yang perlu diingat adalah bahwa obligasi dikeluarkan untuk kepentingan penerbit obligasi dan bukan untuk kepentingan Anda sebagai pembeli obligasi. Jadi dengan kata lain dalam konteks callable bond, penerbit obligasi akan mengeksekusi hak callable bond (melunasi) jika hal itu merugikan Anda.
Oleh karena alasan yang sudah saya jelaskan di atas, saya tidak paham jika ada orang yang mengatakan, “saya lebih baik beli obligasi perusahaan saja daripada beli sahamnya, karena lebih aman.” Sesuai dengan apa yang saya pahami, berinvestasi saham perusahaan maupun membeli obligasi perusahaan memiliki analisis yang sama yaitu fundamental perusahaan itu sendiri. Investor obligasi harus bisa memastikan bahwa perusahaan tersebut mampu secara lancar membayar kupon obligasinya hingga jatuh tempo.
Bagaimana kita membandingkan berinvestasi saham dengan obligasi?
Misalkan kita membeli saham seharga 500 rupiah yang menghasilkan laba 10 rupiah per saham dan tumbuh pada tingkat 20% per tahun. Perusahaan itu menginvestasikan semua labanya ke dalam bisnis. Perusahaan tersebut juga menerbitkan obligasi (callable bond) dengan bunga/kupon 8%.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar saham kita menghasilkan 8% terhadap harga beli kita? Jawabannya adalah antara 7 hingga 8 tahun, jika pertumbuhan berlanjut sebesar 20% per tahun. Namun, jika kita yakin bahwa pertumbuhan akan berlanjut selama itu dan pada tingkat tersebut, masih ada pertanyaan lain lagi yang belum terjawab sebelum kita dapat yakin bahwa saham adalah pilihan yang lebih baik yaitu: “Berapa tingkat hasil obligasi dalam 7 – 8 tahun kemudian?” Jika hasilnya turun dari 4% dan obligasi yang dapat kita beli dengan kupon 8% dapat dipanggil kembali (callable), alternatif obligasi akan menjadi kurang menarik.
Pertanyaan lain yang harus kita jawab sebelum memutuskan apakah kita harus membeli saham dengan P/E 50x adalah berapa kali laba yang kita perkirakan saham tersebut akan dijual 7-8 tahun mendatang. Jika laba saham kita berlipat sekitar 4 kali dan saham tersebut dijual P/E 25x, maka harga saham kita akan berlipat 2 alias 1 bagger. Kenaikan harga dua kali lipat dalam tujuh atau delapan tahun itu sama dengan CAGR 10% per tahun. Dengan asumsi ini, saham akan menjadi pilihan yang lebih baik daripada obligasi dengan hasil 8%.
Asumsi di atas belum memasukkan faktor pajak supaya lebih simple, tapi dalam praktiknya jangan lupakan pajak, pajak juga ikut berperan dalam perhitungan ini.
Jika contoh-contoh ini tampak rumit, saya sebagai praktisi investasi dapat mengatakan bahwa ini masih lebih sederhana dibandingkan masalah investasi nyata yang dihadapi investor setiap hari. Yang saya coba tunjukkan kepada Anda adalah bahwa ketidakmungkinan untuk membuktikan semuanya sebelumnya, secara perhitungan matematis, bagaimana hasil suatu investasi akan berjalan. Investasi adalah world full of uncertainties. Sehebat atau sepandai apapun Anda, masa depan tetaplah tidak diketahui, dan akan selalu begitu. Itulah sebabnya membuat asumsi dan menghitung peluang merupakan hal yang krusial bagi keberhasilan investasi.
Thanks for reading